Meminang adalah pendahuluan perkawinan, tetapi bukan akad nikah. Kadang-kadang orang yang meminang memberikan mahar, seluruhnya atau sebagian, ada juga yang memberikan hadiah-hadiah sebagai penguat ikatan, untuk memperkokoh hubungan baru antara peminang dengan pinangannya. Tetapi harus diingat bahwa semua perkara adalah wewenang Allah, Dia berbuat sekehendak-Nya,
bagaimanapun dan di waktu kapanpun kadang-kadang terjadi sesuatu di luar perhitungan manusia, maka terjadi sesuatu antara peminang dengan yang dipinang, atau ada pihak keluarga yang ingin membatalkan rencana perkawinan. Ini pernah terjadi dan sering terjadi, lantas bagaimana akibatnya?
Apakah pemberian-pemberian dari peminang kepada perempuan yang dipinang itu harus dikembalikan atau tidak.!
![]() |
Meminang dan Akibatnya |
Kita semua memahami bahwa meminang hanyalah janji untuk mengadakan perkawinan tetapi bukan akad nikah yang mempunyai kekuatan hukum. Memenuhi janji untuk nikah adalah kewajiban bagi kedua belah pihak yang berjanji. Agama tidak menetapkan hukuman tertentu bagi pelanggarnya, tetapi melanggar janji adalah tercela, pelanggaran janji adalah salah satu sifat munafik. Karena itu, yang harus dikaji di sini ialah apakah peminang itu berhak dan halal untuk meminta kembali pemberiannya yang pernah ia berikan kepada perempuan yang dipinangnya atau tidak!
Pemberian yang berupa maskawin harus dikembalikan, karena maskawin adalah rangkaian perkawinan. Sebelum perkawinan berlangsung pihak perempuan belum berhak meminta maskawin. Maskawin itu wajib dikembalikan, karena maskawin itu masih menjadi milik si peminang. Adapun hadiah-hadiah yang pernah diberikan dianggap hibah, karena itu tidak perlu diminta kembali, sebab sudah menjadi milik perempuan yang dipinang dan ia sudah boleh memanfaatkannya. Orang yang menuntut kembali pemberiannya berarti mencabut milikorang lain tanpa kerelaannya, perbuatan ini bathil menurut syara'. Kecuali apabila peminang memberikan sesuatu minta ditukar dengan barang lainnya kemudian yang diberi belum memberi ganti, maka ia berhak meminta kembali pemberiannya, karena pemberiannya itu dimaksudkan untuk ditukar dan apabila perkawinan tidak jadi terlaksana, maka ia berhak meminta kembali pemberiannya.
Masalah ini kembali kepada sabda Rasulullah SAW: "Tidak halal seorang memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu kemudian meminta kembali, kecuali orang tua terhadap barang yang diberikan kepada anaknya."
(Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasai dari Ibnu Abbas)
"Orang yang meminta kembali pemberiannya ibarat anjing muntah kemudian menelan kembali muntahannya."
Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat, yang lengkapnya adalah sebagai berikut:
Madzhab Hanafi: Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa barang-barang yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada perempuan pinangannya dapat diminta kembali apabila barangnya masih utuh, misalnya gelang, cincin, kalung, jam tangan dan sebagainya. Apabila sudah berubah, hilang, dijual atau berubah dengan bertambah atau berkurang, misalnya makanan yang sudah dimakan atau bahan pakaian yang sudah dipotong dan dijahit maka si laki-laki sudah tidak berhak meminta kembali atau meminta ganti barang yang ia hadiahkan.
Madzhab Maliki: Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa apabila pembatalan itu datang dari pihak calon suami, maka barang-barang yang pernah diberikan tidak boleh diminta kembali, baik barangnya itu masih utuh atau sudah berubah. Apabila pembatalan itu datangnya dari pihak perempuan, pemberiannya boleh diminta kembali, baik pemberian itu masih utuh atau sudah berubah, apabila rusak wajib diganti, kecuali apabila sudah menjadi adat atau pernah diperjanjikan, maka adat dan syarat itulah yang harus diikuti.
Madzhab Syafi'i: Ulama Syafi'iyyah mengatakan bahwa hadiah harus dikembalikan kepada peminangnya baik pemberian itu masih utuh ataupun sudah berubah, baik pembatalan itu datang dari pihak laki-laki maupun perempuan. Apabila barangnya masih utuh supaya dikembalikan, kalau sudah rusak atau berubah supaya diganti dengan barang yang sama harganya.
Demikian pendapat-pendapat yang masyhur dalam fiqh Islam khusus mengenai masalah ini. Kami cenderung kepada pendapat Malikiyyah demi menjaga perasaan perempuan yang dipinang, yang pembatalan itu datang bukan dari pihaknya. Untuk menggembirakan dan untuk menunjukkan kebesaran jiwa. Meminta kembali barang-barang yang diberikan kepada perempuan yang dipinang menunjukkan kekerdilan jiwa, tidak sopan bahkan penghinaan bagi perempuan serta keluarganya.
No comments:
Post a Comment