Kafa'ah Dalam Perkawinan

   Maksud kafa'ah dalam perkawinan ialah persesuaian keadaan antara si suami dengan perempuannya, sama kedudukannya. Suami seimbang kedudukannya dengan isterinya di masyarakat, sama baik akhlaknya dan kekayaannya. Persamaan kedudukan suami dan isteri akan membawa ke arah rumah tangga yang sejahtera,
terhindar dari ketidak-beruntungan. Demikian gambaran yang diberikan oleh kebanyakan ahli fiqh tentang kafa'ah.

   Lantas bagaimana hukum kafa'ah ini menurut Islam?Bagaimanakah prakteknya?
Sebenarnya, soal kafa'ah adalah bukan dari syariat Islam. Artinya, Islam tidak menetapkan bahwa seorang laki-laki hanya boleh kawin dengan orang kaya, orang Arab tidak boleh kawin dengan orang Indonesia, pedagang tidak boleh kawin dengan karyawan, si Polan tidak boleh kawin dengan Fulanah, tidak. Islam tidak mengajarkan demikian.

   Islam adalah agama fitrah, yang condong kepada kebenaran. Islam tidak membuat aturan tentang kafa'ah tetapi manusialah yang menetapkannya, karena itulah mereka berbeda pendapat tentang hukum kafa'ah dan pelaksanaannya. Di antara ulama ada yang merobek-robek aturan ini, baik di sukai atau tidak. Terutama sekali waktu-waktu seperti sekarang.
"Sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari Allah pastilah mereka mendapatkan banyak pertentangan di dalamnya." (QS.4, An-Nisa':82)

   Ibnu Hazm pemuka madzhab Zhahiriyah, yang dikenal sebagai mujtahid mutlak tidak mengakui adanya kafa'ah dalam perkawinan. Ia berkata: 'Setiap muslim selama tidak melakukan zina boleh kawin dengan perempuan muslimah, siapapun orangnya asal bukan perempuan pezina.'

  Semua orang Islam adalah saudara. Tidaklah haram perkawinan seorang budak hitam dari Ethiopia dengan perempuan keturunan Khalifah Hasyimi. Seorang muslim yang kelewat fasik, asal tidak berzina adalah kufu bagi muslimah yang fasik asalkan perempuan itu tidak berzina, beralasan dengan firman Allah SWT:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS.49, Al-Hujarat:10)

   Firman Allah ini ditujukan untuk segenap kaum muslimin.
"Kawinlah perempuan-perempuan yang menarik hatimu."  (QS.4, An-Nisa':3)

   Allah SWT juga menjelaskan perempuan-perempuan yang haram kita kawin kemudian diterangkan pula:
"Dan dihalalkan bagimu perempuan-perempuan selain yang demikian (mahram)." (QS.4, An-Nisa':24)

   Rasulullah SAW pernah mengawinkan Zainab (Ummul Mukminin) dengan Zaid bin Haritsah pelayan Rasulullah. Beliau juga pernah mengawinkan Al-Miqdad dengan Dhiba'ah binti Zubair bin Abdul Muthalib.

   Ada orang yang berpendapat bahwa laki-laki fasik tidak boleh kawin kecuali dengan perempuan fasik, pendapat ini tidak benar.
   Allah berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara." (QS.49, Al-Hujarat:10)
"Laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, sebagian adalah penolong sebagian lainnya." (QS.9, At-Taubah:71)

   Demikian pendapat Ibnu Hazm yang tidak mengakui adanya kafa'ah dalam perkawinan. Ulama Malikiyah mengakui adanya kafa'ah, tetapi menurut mereka kafa'ah hanya dipandang dari sifat istiqamah dan budi pekertinya saja. Kafa'ah bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaannya. Seorang laki-laki saleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja kawin dengan perempuan terhormat, seorang laki-laki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya, asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan cerai meskipun laki-lakinya tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan. Apabila pihak laki-laki jelek akhlaknya ia tidak Sekufu dengan perempuan yang saleh, si perempuan berhak menuntut fasakh apabila ia masih gadis dan dipaksa kawin dengan laki-laki fasik.
   Ulama Malikiyah juga beralasan dengan firman Allah:
"Wahai sekalian manusia, Kami jadikan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, Kami jadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu adalah yang takwa." (QS.49, Al-Hujarat:13)

   Ayat ini mengandung pernyataan, bahwa manusia itu sama bentuk dan ciptaannya, tidak ada yang lebih mulia dari yang lainnya kecuali karena takwanya dan kesediaannya untuk menunaikan hak Allah dan hak hamba-Nya.
   Mereka juga beralasan dengan hadits  Rasulullah SAW:
"Apabila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama dan budi pekertinya maka kawinkanlah dia, kalau tidak nanti akan menimbulkan fitnah dan kerusakan di dunia. Mereka menyela, 'Ya Rasulullah, apakah meskipun...(cacat).'. Rasulullah SAW menjawab, 'Apabila datang kepadamu orang yang engkau ridhai agama dan budi pekertinya maka nikahkanlah dia'. Beliau mengucapkan demikian sampai tiga kali." (Riwayat Tirmidzi dari Abi Hatim)

   Rasulullah SAW bersabda:
"Wahai Bani Bayadhah, kaeinkanlah Abu Hind dan kawinkanlah dengannya. Abu Hind adalah tukang bekam." (Riwayat Abu Dawud dan Al-Hakim)

   Ali bin Abi Thalib pernah ditanya tentang hukum kafa'ah dalam perkawinan, beliau menjawab:
"Manusia itu sebagian kufu bagi lainnya, Arabnya, Ajamnya, Quraisynya dan Hasyiminya, apabila mereka telah beriman dan masuk Islam."

   Demikian pendapat madzhab Maliki tentang kafa'ah, yaitu persamaan akhlak dan agamanya, bukan ukuran lainnya. Pendapat ini lebih dekat dan lebih tepat dengan ajaran Islam. Tetapi kenyataannya, ahli fiqh dari kalangan Hanafi, Syafi'i serta Hanbali memasukkan ukuran lain dalam kafa'ah tidak seperti yang di gariskan oleh Malikiyah. Perinciannya adalah sebagai berikut:

  • Pertama, nasab orang Arab adalah sekufu bagi orang Arab, Quraisy adalah kufu bagi Quraisy lainnya. Orang Arab biasa tidak sekufu dengan orang-orang Quraisy, mereka beralasan dengan hadits: "Orang Arab adalah kufu orang Arab, Quraisy adalah kufu bagi orang Quraisy. Satu kabilah untuk kabilah, kabilah Hay untuk Hay, seorang untuk seorang, kecuali tukang tenun dan tukang canduk." (Riwayat Al-Hakim dari Ibnu Umar)
    "Orang Arab adalah kufu bagi lainnya, orang Mawali kufu dengan Mawali lainnya." (Riwayat Al-Bazzar dari Muadz bin Jabal)
    Mereka juga beralasan dengan atsar dari Umar bin Khathab r.a:
    "Sungguh saya akan mencegah perkawinan perempuan-perempuan bangsawan kecuali kawin dengan laki-laki yang sekufu." (Riwayat Daruquthni)
  • Kedua, merdeka. Seorang budak tidak dipandang sekufu dengan orang merdeka, demikian pula orang yang pernah menjadi budak tidak sekufu dengan perempuan yang ayahnya belum pernah menjadi budak, karena orang yang merdeka akan merasa terhina apabila hidup bersama seorang budak atau orang yang pernah menjadi budak atau anak bekas budak.
  • Ketiga, Islam. Kufu berdasarkan ke-Islaman ini pada dasarnya digunakan bagi selain orang Arab. Sedangkan orang Arab kafa'ahnya tidak diukur dengan ke-Islamannya, sebab mereka bangga dengan nasab atau keturunan mereka, mereka tidak akan berbangga dengan ke-Islaman nenek moyang mereka. Sedangkan orang-orang selain Arab, yaitu orang Mawali dan Ajam, mereka akan bangga dengan ke Islaman leluhur mereka. Demikianlah, apabila seorang perempuan mempunyai ayah dan kakek yang Islam tidak sekufu dengan orang yang punya ayah-kakek bukan Islam. Seorang yang hanya mempunyai seorang tua yang Islam sekufu dengan orang yang hanya mempunyai satu orang tua yang Islam, sebab penceraian dapat dituntut oleh ayahnya atau kakeknya. Hak menuntut cerai itu tidak akan berpindah kepada selain ayah dan kakek.
       Abu Yusuf berpendapat bahwa seorang yang mempunyai ayah muslim sekufu dengan perempuan yang mempunyai leluhur muslim, karena mereka cukup dikenal dengan menyebutkan nama ayahnya. Sedang Abu Hanifah dan Muhammad baru menganggap cukup apabila dikenal ayah serta kakeknya.
  • Keempat, pekerjaan. Apabila seorang perempuan berasal dari kalangan orang-orang yang mempunyai kerja tetap dan terhormat tidak dianggap sekufu dengan seseorang yang rendah penghasilannya, apabila penghasilannya hampir sama dari usaha yang sama dianggap tidak berbeda. Ukuran tinggi rendahnya usaha adalah menurut adat. Adakalanya suatu pekerjaan di suatu daerah dan pada suatu masa dipandang terhormat tetapi di tempat dan di waktu lain mungkin dipandang hina, mereka beralasan dengan hadits:
    "Orang Arab adalah kufu bagi orang Arab..., kecuali tukang tenun dan tukang bekam."
  • Kelima, kekayaan. Ulama Syafi'iyyah berbeda-beda dalam menetapkan kafa'ah menurut kekayaan ini. Sebagian menganggapnya sebagai ukuran kufu. Seorang miskin dianggap tidak sekufu dengan orang kaya. mereka beralasan: "Kedudukan seseorang itu menurut hartanya dan kemuliaan itu tergantung ketakwaannya."
       Mereka juga beralasan, bahwa nafkah orang miskin beda dengan nafkah orang kaya.
    Ada pula ulama Syafi'iyyah yang tidak menganggap kekayaan sebagai ukuran kafa'ah, hakikatnya kekayaan itu yang pokok adalah makan dan perbekalan, dan orang yang mempunyai muru'ah tidak akan berbangga dengan kekayaannya.
       Ulama Hanafiyah menguatkan pendapat tentang kekayaan sebagai ukuran kafa'ah, mereka mengatakan : 'Seorang laki-laki yang di anggap sekufu adalah yang sanggup membayar maskawin dan uang nafkah sehingga apabila tidak sanggup membayar maskawin dan nafkah, atau salah satunya dianggap tidak sekufu.' Menurut Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah) ukurannya adalah 'Kesanggupan membayar atau memberi nafkah, bukan soal membayar maskawin, karena ukuran yang mudah dilakukan dan kemampuan seseorang untuk memberi nafkah itu tidak dapat dilihat dari keadaan ayahnya.'
       Termasuk ulama yang menganggap kekayaan sebagai ukuran kafa'ah ialah Imam Ahmad bin Hanbal, beliau berkata: 'Orang miskin akan menyusahkan isterinya dalam memberi nafkah dan membahagiakan anak-anaknya. Karena orang disebut fakir menurut sedikit atau banyaknya kekayaan yang dia miliki seperti terhormatnya seseorang itu karena lebih terpandang dan terhormat nenek moyangnya.'
  • Keenam,tidak cacat. Asy-Syafi'i menganggap tidak cacatnya seseorang sebagai ukuran kafa'ah. Orang cacat yang memungkinkan seorang isteri menuntut fasakh dianggap tidak sekufu dengan orang yang tidak cacat, meskipun cacatnya tidak menyebabkan fasakh, tetapi yang sekiranya akan membuat orang tidak senang mendekatinya, seperti buta, terpotong atau rusak anggota tubuhnya. Cacat itu menyebabkan orangnya tidak sekufu. Bedan dengan pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah, mereka tidak menganggap bersih dari cacat sebagai ukuran kafa'ah dalam perkawinan.
       Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni berkata: 'Syarat tidak cacat itu bukan ukuran kafa'ah. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa perkawinan itu tidak batal dengan tidak adanya kafa'ah tetapi si perempuan serta walinya berhak meminta khiyar (pilihan) untuk meneruskan dan membatalkan perkawinan, karena kerugiannya akan menimpa si perempuan. Wali boleh mencegahnya apabila si perempuan kawin dengan laki-laki yang berpenyakit kusta, supak atau gila. Selain cacat-cacat tersebut tidak dianggap sebagai ukuran kafa'ah.'

Artikel Terkait Lainnya:

No comments:

Post a Comment